KREMASI BURUK BAGI LINGKUNGAN
Tempo - Tradisi membakar mayat (kremasi) disebut sebagai salah
satu penyebab terjadinya pemanasan global. Profesor Biologi Reproduksi dari
Universitas Melbourne, Roger Short, menyarankan orang-orang untuk menguburkan
saja jenazah keluarga mereka di bawah pohon karena itu lebih bermanfaat bagi
lingkungan.
Short mengatakan pembusukan jenazah di dalam tanah
bermanfaat karena akan menyediakan nutrisi bagi pepohonan yang akan membantu
mengatasi masalah karbondioksida, mengubahnya menjadi oksigen yang bermanfaat
bagi kehidupan.
Adapun pada saat jenazah dikremasi, itu sama saja dengan
melepaskan tubuh ke angkasa dalam bentuk karbondioksida. “Mengapa harus
membuang karbondioksida pada saat kematian Anda?” katanya di Sydney kemarin.
Pada proses kremasi seorang lelaki dewasa, tubuhnya
dibakar pada suhu 850 derajat Celsius. Proses pembakaran selama 90 menit ini
menghasilkan 50 kilogram karbondioksida. Ini belum termasuk karbon pada emisi
pembakaran dan peti mati.
Kadar pencemaran itu memang jauh lebih kecil. Short pun
tak bermaksud mencegah orang memilih dengan cara apa jenazah mereka ditangani.
Tapi menguburkan jenazah di alam bukanlah ide buruk untuk menjadikan tubuh
seseorang sebagai “makanan” bagi lingkungan
Polusi akibat kremasi:
·
Nitrogenoksida
·
Karbonmonoksida
·
Sulfurdioksida
·
Mercuri
·
Hidrogen fluorida
·
Hidrogen klorida
·
Logam berat
SAMPAH DI TANAH INDONESIA
Permasalahan sampah di Bandung sudah menjadi
permasalahan serius yang melibatkan setiap keluarga dan setiap warga.
Sebenarnya, sebagian sampah di tanah Indonesia
akan hancur dan sebagian lagi tidak mudah hancur. Sampah yang tidak mudah
hancur contohnya adalah plastik. Sebuah keluarga yang menggali tanahnya untuk
tempat sampah dan memasukkan sampah-sampah plastik ke dalamnya membuat tanah
menjadi tercemar (terpolusi). Ketika tanah yang digali itu penuh dengan sampah
dan sampah plastik, keluarga itu menimbunnya dengan tanah. Mereka pun menggali
tanah yang baru di bagian lain dari halaman rumahnya. Dari tahun ke tahun yang
dilakukannya adalah menggali tanah baru di halamannya. Sampai suatu ketika
tidak ada lagi tanah yang belum digali untuk tempat sampah. Ia pun memutuskan
untuk menggali lubang yang paling awal digali untuk tempat sampah dengan
harapan, sampah yang ada di dalamnya sudah hancur. Tetapi ia menyadari bahwa
sampah plastik dan beberapa jenis sampah lainnya tidak hancur dimakan tanah.
Beberapa sampah di Indonesia sebenarnya dapat
hancur oleh tanah, misalnya sisa makanan. Sisa makanan itu akan hancur dan
membusuk. Bila menempel di tanah, maka tanah akan mendaur ulang (mengurai) sisa
makanan itu. Sama sekali tidak akan tercium bau busuknya. Hal ini berbeda
dengan sisa makanan yang terbungkus plastik (misalnya nasi bungkus). Nasinya
akan membusuk tetapi plastiknya menahan penguraian bakteri. Baunya akan
menyengat dan asam. Binantang seperti anjing, kucing dan ayam pun membuang
kotoran. Tetapi kotoran mereka tidak ditahan oleh plastik sehingga kotoran
mereka hancur dimakan tanah. Kotoran binatang yang biasanya ada di tanah akan
mudah hancur dalam beberapa hari dan tidak lagi berbau.
Oleh karena itu seseorang yang hendak membuang
sampah di tanah, mesti membedakan antara sampah organik dengan sampah
anorganik. Sampah organik adalah sampah yang relatif mudah hancur. Sedangkan
sampah anorganik adalah sampah yang tidak mudah hancur. Contoh sampah organik
adalah sisa sayuran di dapur, sisa makanan, kertas, tisu. Contoh sampah
anorganik adalah plastik, logam, kaleng, pecahan botol, pecahan gelas, pecahan
kaca. Lazimnya, setiap orang di Indonesia tahu sampah yang mudah hancur dan tak
mudah hancur.
Sampah yang tak mudah hancur (anorganik) lebih
baik buang di tempat sampah yang akan diangkut oleh tukang sampah. Dengan
demikian tanah tidak akan tercemar dengan plastik dan logam.
sumber :
multiply.com