Naskah
drama monolog
KUPU-KUPU
TIDUR
Cerpen Wawan Setiawan
Tak
kusadari air mata menetes,
tak
banyak, hanya satu dua.
Tapi
itu sudah cukup.
Keterharuanku
pada jalan hidupku
membuatku
mengerti,
bahwa
setiap orang akan digiring
kepada
jalan hidupnya masing masing.
Ada
yang ikhlas menerima,
ada
yang memberontakinya.
Naskah Aufa A. Ifada
teater smaraghanesa
2005
KUPU-KUPU TIDUR
Termenung
Kupu-kupu itu
bersayap kuning, terbang kesana kemari di tanah samping.
Mulai bergerak
Coba lihat, ia
sedang mencari sesuatu, dibalik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang
menitipkan telurnya.
Berjalan
Nanti
telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa
daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong.
Berhenti
Nah sudah. Coba
lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya
kuning, seperti induknya.
Terdiam tanpa gerak
Sebuah prose
salami, alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses,
tentu secara alami pula.
Berpaling
Kupu-kupu kuning
tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga.
Bergerak
Disamping rumah
ada sirsak, pisang, mangga, dan papaya. Ada
juga bluntas dan gambas. Dibawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput
hijau, halus, enak dikaki.
Berjalan
Dihalaman depan,
sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada papaya, alamanda, cemara pipih, dan
melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang
besar dan tenang ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.
Berdiri tegap memalingkan badan
Hesti, aku sudah
mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi
mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta.
Bergerak
Berbulan bundar,
persis harapanku. Tapi bulan dan bintang dirumah kita adalah milikmu. Aku
ditakdirkan tidak memilikinya.
Berjalan, terduduk
Itu ucapan
Sapto. Lelaki itu kemudian tak kembali lagi. Sapto telah pergi, lenyap ditelan
kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan
nenek moyangnya.
Mengangkat wajah
Ya, Sapto, bila
itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak
kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu,
tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau
menerimanya juga dengan separuh dirimu.
Kosong
Kita sama-sama
mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Ditengah alam semesta yang besar ini, aku
akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami.
Dirumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang
gambar-gambarnya samara-samar.
Terdiam, menangis, lalu menyekanya dengan tangan
Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu
dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti,
bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang
ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.
Bangkit
Lelaki itu dulu
kutemui di bangsal sebuah gedung teater.
Berseri
Saat itu ada
latihan drama, saat itu aku baru lulus sarjana akutansi. Meskipun aku suka
hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main,
kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan
dalam oven. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati.
Berpaling sebentar, lalu kembali lagi
Dalam kisah
drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan
seorang paranormal.
Bergerak mengikuti cerita
Dikisahkan,
paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa disebuah lereng gunung di selatan kota . Tapi pertapanya
gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi
orang biasa.
Berfikir
Entah darimana
Sapto tahu ada latihan drama di gedung pemuda pusat kota itu.
Duduk
Sapto sendiri
hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang disukai, dan
sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu,
ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang
mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.
Mulai tegas
Waktu itu, entah
bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi.
Tersenyum
Dari diskusi
itulah, perkenal berlanjut.
Kosong
Sapto ternyata
orang yang sangat menyayangi tubuhnya.
Bergerak mengikuti dialog
Setelah
pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil tuhan,
rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan
perjuangan yang sangat berat, sungguh berat.
Ekspresi
Sang ruh harus
bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh
yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh a lot.
Gostur tangan
Dihitung dulu
talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat
tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan
keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat.
Bergerak
Melihat
kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana , sapto sangat bersyukur telah bisa lahir
ke bumi.
Tegas
Karena itu,
sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena
dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.
Menerawang, terhenyak
Hernowo? Ya,
dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku.
Beranjak
Aku bertemu
dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama.
Bergerak
Waktu itu pagi
nan dingin, di pinggiran kota ,
sebuah kelompok teater sedang berlatih pernafasan. Aku diajak seorang teman,
aku ikut namun sekedar menonton, sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka
teriak-teriak.
Mengikuti dialog
Mereka
disadarkan oleh Hernowo, baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak
hanyalah tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya
udara, namun juga oleh pentingnya tuhan.
Tersenyum lepas
Hernowo adalah
seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernafasan
digabung dengan bawaan dari sononya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo
Boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.
Tiduran
Hesti,
kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi.
Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual.
Rebahan
Demikian
pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah
yang keberapa ribu kali.
Mengelus dipan
Tapi kau pelaku
yang baik, man of action. Kamu mampu
menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka diatas
panggung. Aku lega dipertemukan tuhan bersuamikan dirimu.
Menghadap penonton
Demikian hiburku
pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat.
Bergerak gostur tangan
Kusuapi dia
dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.
Tiduran
Sebenarnya aku
sudah mulai bisa tinggal didalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di
hatiku
Terbangun dan duduk
Tapi sayang
seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri,
Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya.
Terpaku
Kerinduanku pada
keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku
janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.
Berdiri dan berjalan
Sudahlah, sudah.
Kau bisa bayangkan sendiri, disudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya
aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal
bercinta.
Menengadah dan mengangkat tangan
Tak apalah.
Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga
mengalir.
Berbaling memperhatikan kupu-kupu
Aku tak mau lagi
jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu.
Mengembangkan
lengannya
Ulat merayap
dari daun ke daun. Kupu-kupu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman.
Menaiki dipan
Aku ingin terbang. Dan ini yang penting. Aku tak ingin
memakai dua sayap yang disitu ada Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan
sayap sendiri. Sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto,
dan Hernowo, atau yang lain.
Jatuh terjerembab
Dalam
kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap.
Berdiri berjalan
Tak apa, mumpung
angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum samasekali hampa. Lingkunganku
masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.
Menoleh melihat sosok lain
Kulihat diriku
menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai
melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon.
Menengadahkan kepala
Sedang diatas
angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.
Fade out
Selamat
berproses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar