Selasa, 09 Oktober 2012

KREMASI BURUK BAGI LINGKUNGAN


KREMASI BURUK BAGI LINGKUNGAN

Tempo - Tradisi membakar mayat (kremasi) disebut sebagai salah satu penyebab terjadinya pemanasan global. Profesor Biologi Reproduksi dari Universitas Melbourne, Roger Short, menyarankan orang-orang untuk menguburkan saja jenazah keluarga mereka di bawah pohon karena itu lebih bermanfaat bagi lingkungan.
Short mengatakan pembusukan jenazah di dalam tanah bermanfaat karena akan menyediakan nutrisi bagi pepohonan yang akan membantu mengatasi masalah karbondioksida, mengubahnya menjadi oksigen yang bermanfaat bagi kehidupan.
Adapun pada saat jenazah dikremasi, itu sama saja dengan melepaskan tubuh ke angkasa dalam bentuk karbondioksida. “Mengapa harus membuang karbondioksida pada saat kematian Anda?” katanya di Sydney kemarin.
Pada proses kremasi seorang lelaki dewasa, tubuhnya dibakar pada suhu 850 derajat Celsius. Proses pembakaran selama 90 menit ini menghasilkan 50 kilogram karbondioksida. Ini belum termasuk karbon pada emisi pembakaran dan peti mati.
Kadar pencemaran itu memang jauh lebih kecil. Short pun tak bermaksud mencegah orang memilih dengan cara apa jenazah mereka ditangani. Tapi menguburkan jenazah di alam bukanlah ide buruk untuk menjadikan tubuh seseorang sebagai “makanan” bagi lingkungan
Polusi akibat kremasi:
·         Nitrogenoksida
·         Karbonmonoksida
·         Sulfurdioksida
·         Mercuri
·         Hidrogen fluorida
·         Hidrogen klorida
·         Logam berat


SAMPAH DI TANAH INDONESIA

Permasalahan sampah di Bandung sudah menjadi permasalahan serius yang melibatkan setiap keluarga dan setiap warga.
Sebenarnya, sebagian sampah di tanah Indonesia akan hancur dan sebagian lagi tidak mudah hancur. Sampah yang tidak mudah hancur contohnya adalah plastik. Sebuah keluarga yang menggali tanahnya untuk tempat sampah dan memasukkan sampah-sampah plastik ke dalamnya membuat tanah menjadi tercemar (terpolusi). Ketika tanah yang digali itu penuh dengan sampah dan sampah plastik, keluarga itu menimbunnya dengan tanah. Mereka pun menggali tanah yang baru di bagian lain dari halaman rumahnya. Dari tahun ke tahun yang dilakukannya adalah menggali tanah baru di halamannya. Sampai suatu ketika tidak ada lagi tanah yang belum digali untuk tempat sampah. Ia pun memutuskan untuk menggali lubang yang paling awal digali untuk tempat sampah dengan harapan, sampah yang ada di dalamnya sudah hancur. Tetapi ia menyadari bahwa sampah plastik dan beberapa jenis sampah lainnya tidak hancur dimakan tanah.
Beberapa sampah di Indonesia sebenarnya dapat hancur oleh tanah, misalnya sisa makanan. Sisa makanan itu akan hancur dan membusuk. Bila menempel di tanah, maka tanah akan mendaur ulang (mengurai) sisa makanan itu. Sama sekali tidak akan tercium bau busuknya. Hal ini berbeda dengan sisa makanan yang terbungkus plastik (misalnya nasi bungkus). Nasinya akan membusuk tetapi plastiknya menahan penguraian bakteri. Baunya akan menyengat dan asam. Binantang seperti anjing, kucing dan ayam pun membuang kotoran. Tetapi kotoran mereka tidak ditahan oleh plastik sehingga kotoran mereka hancur dimakan tanah. Kotoran binatang yang biasanya ada di tanah akan mudah hancur dalam beberapa hari dan tidak lagi berbau.
Oleh karena itu seseorang yang hendak membuang sampah di tanah, mesti membedakan antara sampah organik dengan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang relatif mudah hancur. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang tidak mudah hancur. Contoh sampah organik adalah sisa sayuran di dapur, sisa makanan, kertas, tisu. Contoh sampah anorganik adalah plastik, logam, kaleng, pecahan botol, pecahan gelas, pecahan kaca. Lazimnya, setiap orang di Indonesia tahu sampah yang mudah hancur dan tak mudah hancur.
Sampah yang tak mudah hancur (anorganik) lebih baik buang di tempat sampah yang akan diangkut oleh tukang sampah. Dengan demikian tanah tidak akan tercemar dengan plastik dan logam.






sumber :
multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar