Selasa, 10 April 2012

KAPAN yang PINTAR itu BODOH


KAPAN YANG PINTAR ITU BODOH

Alasan sesungguhnya mengapa David Pologruto yaitu seorang guru fisika sekolah menengah ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh salah seorang siswa terpandai di sekolah tersebut adalah hal yang masih di perdebatkan. Tetapi fakta yang dilaporkan pada umumnya adalah sebaigai berikut :

Jason, yaitu siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Springs (Florida) bercita-cita masuk fakultas
kedokteran. Bukan hanya sekedar fakultas kedokeran, ia memimpikan dapat masuk fakultas kedokteran di Harvar.
Tetapi pologruto yaitu guru fisika di sekolahnya memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes, karena yakin bahwa nilai tersebut hanya akan memberikan nilai B yang akan menghalangi cita-citanya untuk masuk ke Harvard, Jason mengambil sebilah pisau dapur ke sekolah dan, dalam suatu pertengkaran denganPologruto di lab. Fisika ia menusuk gurunya di tulang selangka sebelum dapat ditangkap dengan susah payah.

Hakim memutuskan bahwa Jason tidak bersalah karena pada saat itu ia di anggap gila untuk sementara salama peristiwa tersebut, sebuah panel terdiri atas empat psikolog dan psikiater bersumpah bahwa ia gila pada saat perkelahian itu berlangsung, Jason mengatakan bahwa ia telah berencana bunuh diri karena nilai tes tersebut dan akan menemui gurunya untuk mengatakan kepadanya bahwa ia akan bunuh diri karena nilai yang buruk itu.
 Tetapi Pologruto menyampaikan cerita yang berbeda : “saya rasa ia betul betul mencoba membunuh saya dengan pisau itu” karena ia amat marah atas nilai tersebut.
Setelah pindah ke sekolah swasta, Jason lulus dua tahun kemudian sebagai juara kelas. Nilai sempurna dari kelas reguler akan membberinya angka A bulat, rata-rata 4,0 tetapi karena Jason telah cukup banyak mengikuti kursus lanjutan maka nilai rata-ratanya menjadi 4,614 yaitu jauh diatas A+.
Meskipun Jason lulus dengan nilai terbaik guru fisikanya yang lama yaitu David Pologruto mengeluh, bahwa Jason karena Jason tak pernah minta maaf atau mau bertanggung jawab atas penusukan yg pernah Jason lakukan kepada Pologruto.

Masalahnya adalah, bagaimana mungkin seorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang demikian tak rasional, sesuatu yang betul-betul bodoh? Jawabannya adalah : “kecerdasan akademik sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional”. Yang paling cerdas diantara kita adapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak, orang yang Iqnya tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribani mereka sendiri.


Salah satu rahasia psikolag yang telah menjadi makanan umum adalah ketidakmampuan relatif nilai-nilai IQ atau nilai SAT (School Aptitude Test / Tes Bakat) kendati daya tarik tes-tes tersebut amat besar untuk meramalkan dengan rapat siapa-siapa yang akan berhasil dalam kehidupan. Yang jelas ada suatu kaitan antara IQ dengan lingkungan tempat tinggal bagi kelompok-kelompok besar secara keseluruhan.

Banyak orang ber-IQ amat rendah tapi pada akirnya mendapat pekerjaan-pekerjaan kasar dan orang-orang ber-IQ tinggi cenderung menjadi pegawai bergaji besar, tetapi tidak selalu demikian. Ada banyak pengecualian terhadap pemikiran yang menyatakan bahwa Iqmeramalkan kesuksesan, banyak atau lebih banyak perkecualian daripada kasus yang cocok dengan pemikiran itu. Setinggi-tingginya IQ hanya menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup, maka yang 80% diisi oleh kekuatan–kekuatan lain. Seorang pengamat menyatakan “status akhir seseorang dalam masyarakat pada umumnya ditentukan oleh fakto-faktor bukan karena IQ melainkan kelas sosial hingga nasib baik”.
Bahkan Richard Herrnstein dan Charles Murray yang dalam bukunya The Bell Curve menaruh bobot penting pada IQ, mmengakui hal ini seperti yang mereka utarakan “Barangkali seorang mahasiswa tingkat satu dengan nilai matematika 500 pada SAT, lebih baik tidak memutuskan untuk menjadi ahli matematika, tetapi sebagai gantinya menjalankan usaha sendiri atau menjadi senator Amerika Serikat. Ia sebaiknya tidak menjadi mengesampingkan impian-impian itu . . . kaitan antara nilai tes dan tingkat prestasi menjadi sempit mengingat keseluruhan ciri-ciri lain yang dibawanya dalam kehidupan”. 

Sumber [Emotional Intelligence by Daniel Goleman]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar