Selasa, 29 Januari 2013

Cerpen Kupu-kupu Tidur

www.gunadarma.ac.id




Naskah drama monolog
KUPU-KUPU TIDUR
Cerpen Wawan Setiawan








Tak kusadari air mata menetes,
tak banyak, hanya satu dua.
Tapi itu sudah cukup.
Keterharuanku pada jalan hidupku
membuatku mengerti,
bahwa setiap orang akan digiring
kepada jalan hidupnya masing masing.
Ada yang ikhlas menerima,
ada yang memberontakinya.











Naskah Aufa A. Ifada

teater smaraghanesa
2005

KUPU-KUPU TIDUR

Termenung
Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang kesana kemari di tanah samping.

Mulai bergerak
Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, dibalik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya.

Berjalan
Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong.

Berhenti
Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Terdiam tanpa gerak
Sebuah prose salami, alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula.

Berpaling
Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga.

Bergerak
Disamping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan papaya. Ada juga bluntas dan gambas. Dibawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak dikaki.

Berjalan
Dihalaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada papaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan tenang ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

Berdiri tegap memalingkan badan
Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta.
Bergerak
Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang dirumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya.

Berjalan, terduduk
Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak kembali lagi. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

Mengangkat wajah
Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu.


Kosong
Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Ditengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Dirumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samara-samar.

Terdiam, menangis, lalu menyekanya dengan tangan
Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Bangkit
Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater.

Berseri
Saat itu ada latihan drama, saat itu aku baru lulus sarjana akutansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam oven. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati.

Berpaling sebentar, lalu kembali lagi
Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal.

Bergerak mengikuti cerita
Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa disebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa.

Berfikir
Entah darimana Sapto tahu ada latihan drama di gedung pemuda pusat kota itu.

Duduk
Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang disukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Mulai tegas
Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi.

Tersenyum
Dari diskusi itulah, perkenal berlanjut.

Kosong
Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya.


Bergerak mengikuti dialog
Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat.

Ekspresi
Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh a lot.

Gostur tangan
Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat.

Bergerak
Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi.

Tegas
Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Menerawang, terhenyak
Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku.

Beranjak
Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama.

Bergerak
Waktu itu pagi nan dingin, di pinggiran kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernafasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekedar menonton, sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak.

Mengikuti dialog
Mereka disadarkan oleh Hernowo, baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya tuhan.

Tersenyum lepas
Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernafasan digabung dengan bawaan dari sononya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo Boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

Tiduran
Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual.

Rebahan
Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang keberapa ribu kali.

Mengelus dipan
Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka diatas panggung. Aku lega dipertemukan tuhan bersuamikan dirimu.
Menghadap penonton
Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat.

Bergerak gostur tangan
Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Tiduran
Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal didalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku

Terbangun dan duduk
Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya.

Terpaku
Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

Berdiri dan berjalan
Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, disudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta.

Menengadah dan mengangkat tangan
Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir.

Berbaling memperhatikan kupu-kupu
Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu.

Mengembangkan lengannya
Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman.

Menaiki dipan
Aku ingin  terbang. Dan ini yang penting. Aku tak ingin memakai dua sayap yang disitu ada Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri. Sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Jatuh terjerembab
Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap.

Berdiri berjalan
Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum samasekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.
Menoleh melihat sosok lain
Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon.

Menengadahkan kepala
Sedang diatas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.
Fade out
Selamat berproses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar